Beranda | Artikel
Ajaran yang Lebih Sempurna daripada Stoikisme
Rabu, 24 Agustus 2022

Baru baru ini, istilah stoikisme populer di tengah-tengah masyarakat. Diperbincangkan dalam podcast-podcast yang sedang trending dan mulai dipraktikkan oleh sebagian besar anak muda. Sebuah konsep pemikiran yang ada sejak tahun 108 SM. Konsep ini mengajarkan bagaimana agar manusia mampu menjaga ketenangan dalam berfikir secara rasional. Tidak terlalu mempedulikan apa yang terjadi di luar kendali, serta berfokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan.

Konsep stoikisme mengajarkan tentang keyakinan terhadap apa yang dimiliki oleh diri sendiri kemudian berfokus padanya dan menjalani hidup dengan lebih tenang. Kemudian menyingkirkan pengaruh negatif yang datang dari luar kendali diri. Orang-orang stoikis tidak terlalu mempedulikan bagaimana penilaian manusia kepada diri mereka sehingga mereka hanya fokus melakukan apa yang mereka anggap baik bagi diri mereka.

Orang-orang yang meyakini dan dianggap berhasil menerapkan konsep berpikir ini dalam kehidupan mereka mengakui bahwa cara pandang mereka dalam menjalani hidup menjadi berbeda karena mereka dapat menjadi lebih tenang dan lebih menikmati kehidupan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Saudaraku, banyak manusia yang mengaku beriman tapi lebih meyakini konsep-konsep dari ajaran di luar Islam daripada ajaran-ajaran yang bersumber dari agamanya sendiri, meskipun pesan yang dibawa adalah sama, bahkan tidak sebaik dari ajaran Islam. Tidak sedikit umat Islam lebih condong mengikuti nasihat yang dianggap memiliki basis ilmiah daripada nasihat Islam sendiri yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Meskipun ia menyadari bahwa Al-Qur’an dan hadis itu sendiri adalah sains dan ilmiah. Waliyadzubillah

Padahal, dalam Islam sendiri mengajarkan prinsip-prinsip hidup yang lebih sempurna dari apa yang diajarkan oleh filsafat apapun yang ada di dunia ini. Dalam Islam, kita diajarkan tentang sebuah konsep mulia yang bernama “niat” yang merupakan pokok fundamental dalam segala aktivitas yang kita lakukan. Islam mengajarkan agar niat itu dipersembahkan hanya untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala.

Melakukan segala amalan berupa aktivitas mulai dari gerakan batin, fikiran, maupun segala hal yang dilakukan oleh fisik (anggota tubuh), dimulai dengan niat ikhlas untuk meraih keridaan Allah. Maka, apapun komentar, tanggapan, bahkan cemoohan dari manusia, tidak sedikit pun dapat mempengaruhi hal-hal yang kita lakukan yang diawali dengan niat ikhlas tersebut.

Dan rasakanlah betapa ketenangan hidup yang kita inginkan. Imam As-Syafi’i rahimahullah berkata,

رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لاَ تُدْرَكُ

“Rida manusia merupakan tujuan yang tidak bisa tercapai.”

Senang terhadap pujian manusia

Sebagai manusia, perasaan senang atas pujian seseorang atas diri kita adalah hal yang manusiawi, asalkan tidak melangkahi batasan-batasan syariat yang telah ditetapkan baik dalam Al-Qur’an maupun sunah.

Namun, sebagian manusia, setelah melakukan suatu tugas, kewajiban, ataupun pemberian kepada seseorang, ucapan ‘terima kasih’ adalah kalimat yang ditunggu-tunggu. Bahkan, oleh penganut konsep stoikisme sekali pun. Karena mereka tidak meletakkan niat suci dari prinsip itu kepada Zat Yang Mahamengetahui, yaitu Allah Ta’ala.

Saudaraku, kadangkala kita mudah terpengaruh dengan pendapat orang lain terhadap diri kita. Pujian dan sanjungan, bahkan cacian dan makian manusia sering menjadi tolak ukur kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Akhirnya, kita bekerja, beraktivitas, berbicara, berperilaku, bahkan beramal dan beribadah ditujukan untuk mendapatkan pengakuan berupa pujian dan sanjungan itu. Waliyadzubillah

Sesungguhnya kita menyadari bahwa amal ibadah sangat tergantung pada niat kita ketika hendak melaksanakannya. Karena pahala yang diberikan kepada seorang hamba yang melakukan suatu amal berdasarkan niat yang telah ia ikrarkan.

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafs ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Namun, alih-alih menghadirkan niat lillah dalam melaksanakan segala hal baik urusan duniawi seperti bekerja ataupun menuntut ilmu, maupun urusan ukhrawi dalam bentuk mengerjakan berbagai amal ibadah, terkadang kita justru menjadikan penilaian manusia sebagai tujuan akhir atas segala urusan tersebut.

Akibatnya, kita sering dirundung masalah hingga bencana sebagai bentuk teguran dari Allah Ta’ala terhadap hamba-Nya yang sedang ‘jauh’ dari-Nya. Padahal, jika saja segala urusan tersebut disandarkan atas niat untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, tentulah kebahagiaan yang akan diperoleh.

Baca Juga:Imam Asy Syafi’i dan Ilmu Filsafat 

Cercaan manusia dan keniscayaan

Adapun niat untuk mendapatkan pengakuan dari manusia dalam bentuk pujian, ataupun karena takut dari cercaan, maka apapun yang kita dapatkan setelahnya adalah suatu hal yang semu yang dapat berujung pada kekecewaan. Karena tidak ada orang yang dapat selamat dari cercaan manusia. Sesempurna apapun akhlaknya, semulia apapun perilakunya, dan sebaik apapun tingkah lakunya. Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak luput dari cercaan dan celaan dari manusia (orang-orang kafir Quraisy).

Nasihat dalam menyikapi keniscayaan cercaan manusia ini dapat kita ambil dari perkataan Ibnu Hazm rahimahullah yang berkata,

مَنْ قَدَّرَ أَنه يَسْلَمُ مِنْ طَعْنِ النَّاسِ وَعَيْبِهِمْ فَهُوَ مَجْنُون

“Barang siapa yang menyangka ia bisa selamat dari celaan manusia dan cercaan mereka, maka ia adalah orang gila.” (Al-Akhlaq wa As-Siyar fi Mudawaatin Nufuus, hal. 17)

Terlalu larut dengan penilaian manusia juga akan memperburuk keadaan pikiran dan batin kita. Sebab, bagaimanapun yang kita lakukan, tetap saja ada manusia yang menilai dari sudut pandang negatif. Semakin kita menjadikan penilaian manusia sebagai ukuran kesuksesan dan keberhasilan, maka semakin dekat pula kita dengan kekecewaan. Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

“إنّك لا تقدر أن ترضي النّاس كلَّهم، فأصلح ما بينك وبين الله ثمّ لا تبالي بالناس”

“Engkau takkan mampu menyenangkan semua orang. Karena itu, cukup bagimu memperbaiki hubunganmu dengan Allah, dan jangan terlalu peduli dengan penilaian manusia.” (Tawaalii At-Taniis, hal. 168)

Kita hanya perlu memperbaharui niat kita dalam setiap langkah dan aktivitas yang kita lakukan. Niat yang perlu tetap konsisten untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, apapun resiko yang kita hadapi. Bahkan, hingga ke titik resiko yang membahayakan diri kita pun, insya Allah kita akan tetap berada dalam perlindungan Allah Ta’ala, asalkan kita senantiasa menjaga batasan-batasan syariat Allah. Karena dengan menjaga batasan syariat tersebut, kita juga sedang menjaga Allah. Perhatikan hadis berikut ini.

عبْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: ((يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ))

Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat. Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah.

Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andai pun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. At-Tirmidzi no. 2516 dan Ahmad dalam kitab Al-Musnad, 1: 307)

Baca Juga: Sikap Pertengahan Terhadap Ibnu Sina

Kekeliruan niat, penyebab jauh dari Allah

Seringnya berinteraksi dengan manusia dan menghabiskan waktu dalam kesibukan terhadap urusan duniawi perlahan tapi pasti akan menjauhkan kita dari Allah. Apalagi, kesibukan kita dalam urusan duniawi tersebut telah merenggut waktu-waktu terbaik kita dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Kadangkala, kita selalu mencari alasan dan pembenaran dari dorongan hasrat duniawi yang terlalu sibuk untuk mendapatkan kesenangan yang semu. Atau yang lebih halus, dengan alasan demi mencari kehidupan yang layak, kemudian kesempatan beribadah (seperti solat duha, tahajud, membaca Al-Qur’an) kita tepis seenaknya, dengan berbagai alasan dan hati pun bergumam “Aku tidak sempat melakukannya, ya Allah.”

Padahal, amal ibadah kepada Allah khususnya amalan-amalan sunah (an-nawafil) adalah kunci agar kita semakin dekat dengan-Nya. Dekatnya kita kepada Allah bahkan akan membuka pintu-pintu kebahagiaan dunia dan akhirat. Lantas, kenapa kita menghindarinya?

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيهِ ، وَمَا يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أحْبَبْتُهُ ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ ، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإنْ سَألَنِي أعْطَيْتُهُ ، وَلَئِن اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ

“Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku, yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunah hingga Aku pun mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia pakai untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia pakai untuk berjalan. Bila ia meminta kepada-Ku, Aku pun pasti memberinya. Dan bila ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pun pasti akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 6502)

Baca Juga: Meneladani Kehidupan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail

Ikhlaskan amal dan niatmu!

Ketika berada dalam suatu keadaan dimana hanya ada dua pilihan antara kesuksesan di mata manusia tapi harus melangkahi batasan syariat, atau bertekad memperoleh rida Allah meskipun mendapatkan celaan manusia. Pilihan manakah yang akan kita ambil?

Fenomena terjebak dalam dua pilihan ini seringkali terjadi pada diri kita. Baik dalam memutuskan suatu perkara (cobaan bagi seorang pemimpin), maupun dalam melaksanakan suatu perintah (cobaan bagi yang dipimpin). Contoh konkrit, ketika seorang bos lebih memilih untuk tetap bekerjasama dengan pihak mitra untuk suatu project demi mendapatkan keuntungan besar. Padahal ia tahu bahwa jalan yang akan ditempuh untuk mendapatkan keuntungan itu mau tidak mau harus melanggar ketentuan syariat (seperti ribawi, gharar, dan sebagainya).

Atau seorang anak buah yang mau tak mau harus menjalankan perintah bos-nya untuk tetap melanjutkan kerja sama tersebut padahal ia tahu bahwa yang akan dikerjakan adalah apa yang dilarang oleh syariat. Maka, dengan alasan kekhawatiran akan celaan manusia, atau kekhawatiran akan kehilangan rezeki, ia pun tetap melakukan pekerjaan itu.

Hilanglah niat “mengerjakan segala hal untuk mendapatkan rida Allah”. Padahal Allah Sang Maha Penyayang akan senantiasa memberikan kita kecukupan selama kita tetap menjaga batasan-batasan agama ini. Perhatikanlah hadis berikut.

عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قَالَ كَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رضى الله عنها أَنِ اكْتُبِى إِلَىَّ كِتَابًا تُوصِينِى فِيهِ وَلاَ تُكْثِرِى عَلَىَّ. فَكَتَبَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها إِلَى مُعَاوِيَةَ سَلاَمٌ عَلَيْكَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ

Dari seseorang penduduk Madinah, ia berkata bahwa Muawiyah pernah menuliskan surat pada ‘Aisyah, Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, di mana ia berkata, “Tuliskanlah padaku suatu nasihat untukku dan jangan engkau perbanyak.” ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pun menuliskan pada Mu’awiyah, “Salamun ‘alaikum (keselamatan semoga tercurahkan untukmu). Amma ba’du. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari rida Allah saat manusia tidak suka, maka Allah akan cukupkan dia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari rida manusia, namun Allah itu murka, maka Allah akan biarkan dia bergantung pada manusia.” (HR. Tirmidzi no. 2414 dan Ibnu Hibban no. 276. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata kepada salah seorang murid beliau yang bernama Yunus bin Abdil A’la,

لَوْ اجْتَهَدْتَ كُلَّ الْجُهْدِ عَلَى أَنْ تُرْضِيَ النَّاسَ كُلَّهُمْ فَلَا سَبِيْلَ، فَأَخْلِصْ عَمَلَكَ وَنِيَّتَكَ لِله عَزَّ وَجَلَّ.

Seandainya engkau bersungguh-sungguh semaksimal mungkin untuk membuat rida manusia seluruhnya, tidak akan mungkin bisa. Oleh karena itu maka ikhlaskanlah amal dan niatmu hanya untuk Allah Azza wa Jalla.” (Al-Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 31)

Kabar gembira bagi orang yang memiliki niat ikhlas

Telah jelas bagi kita bagaimana keadaan orang-orang yang mengedepankan hasrat untuk mendapatkan pengakuan dan pujian manusia. Mereka tidak akan mendapatkan apapun pada akhirnya, kecuali kekecewaan. Sebaliknya, niat yang selalu dipersembahkan untuk mendapatkan rida dari Allah Ta’ala akab berbuah manis, baik di dunia maupun akhirat.

Maka, apakah alasan bagi kita untuk tidak mengikhlaskan niat hanya bagi Allah Ta’ala?

Oleh karena itu, selain mengetahui balasan kebaikan yang didapat oleh orang-orang yang senantiasa mengikhlaskan niatnya lillah dalam setiap aktivitas, tutur kata, dan tingkah lakunya. Penting pula bagi kita, untuk mengetahui akibat yang lebih jauh bagi orang-orang yang mempersembahkan niatnya kepada selain Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Tidak ada sedikit pun arti suatu amalan tanpa menghadirkan niat lillah dalam setiap amalan tersebut. Apalah artinya suatu amalan yang dikerjakan dengan segala daya dan upaya, namun tanpa niat lillah, kemudian tidak mendapatkan apa pun dari pahala atas amalan tersebut.

Oleh karenanya, amalan yang kita kerjakan dengan niat ikhlas untuk mendapatkan rida Allah (bukan rida manusia) adalah orang yang paling baik agamanya, serta buah dari keikhlasannya tersebut akan berujung pada balasan dengan sebaik-baik balasan dari Allah, yaitu perjumpaan dengan Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?” (QS. An-Nisa’: 125)

Allah Ta’ala juga berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Demikianlah sekelumit dari gambaran betapa ajaran agama mulia ini begitu sempurna dan sangat komprehensif. Ajaran yang meliputi segala lini kehidupan manusia. Baik dalam perkara duniawi, apalagi perkara ukhrawi. Oleh karenanya, selamilah lebih dalam ajaran agama mulia ini. Rasakan dan sadarilah bahwa lautan ilmu yang bersumber dari Allah Ta’ala sangatlah luas sehingga engkau akan berhenti berdecak kagum dengan segala pernak pernik sains dan teknologi yang dianggap menakjubkan itu. Karena akhirnya engkau menyadari bahwa semua itu berasal dari sumber yang sama, yaitu ilmu Allah Ta’ala yang tertera dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Baca Juga:

Penulis: Fauzan Hidayat


Artikel asli: https://muslim.or.id/77944-ajaran-yang-lebih-sempurna-daripada-stoikisme.html